 |
Kue Apem |
Kue berbahan dasar tepung beras ini sangat dikenal di kalangan
masyarakat Jawa dan Madura. Bahan dasar, bentuk, dan tekstur
kue apem
ini ada yang mengatakan hampir mirip dengan
surabi dari Sunda. Tapi
well, kita nggak akan memperdebatkan persamaan dan perbedaannya, ya.
Istilah apem sebenarnya berasal dari bahasa Arab, afuan/ afuwwun, yang
berarti ampunan. Jadi, dalam filosofi Jawa, kue ini merupakan simbol
permohonan ampun atas berbagai kesalahan. Namun, karena orang Jawa
menyederhanakan bahasa Arab tersebut, maka disebutlah apem.
Berkaitan
dengan penggunaan makna tersebut, masyarakat Jawa biasanya membuat apem
saat menjelang bulan puasa atau Ramadan. Inilah yang disebut tradisi
megengan. Megengan berasal dari bahasa Jawa 'megeng' yang berarti
menahan diri, bisa diartikan sebagai puasa itu sendiri.
Nah, kue
apem dibuat untuk dibawa ke surau, musala, atau masjid. Setelah berdoa
bersama,
kue apem dibagi kepada para tetangga atau mereka yang kurang
beruntung. Sehingga bisa dikatakan, kue ini juga sebagai sarana untuk
mengungkapkan rasa syukur terhadap rezeki yang sudah kita dapatkan.
Bahkan,
apem sebagai simbol rasa bersyukur juga dibuat ketika prosesi Tingalan
Dalem Jumenengan ke-24 Sri Sultan Hamengku Buwono X (Peringatan Kenaikan
Takhta Sultan HB X) dalam memimpin Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
pada tahun 2012.
Di Cirebon, kue apem dimaknai sebagai kue
kebersamaan. Pasalnya, dalam masyarakat Cirebon, kue ini dibuat ketika
bulan Safar (bulan ke-2 dalam kalender Hijriyah) untuk dibagikan kepada
para tetangga secara gratis. Menunjukkan bahwa masyarakat saling
membantu dengan sarana kue apem tersebut. Selain itu, kue putih agak
kecokelakatan dan cukup kenyal ini dimaknai sebagai penolak bala oleh
masyarakat Kota Udang ini.
Secara garis besar, makna filosofi kue
apem di kalangan masyarakat Jawa itu sama. Termasuk orang-orang Madura,
khususnya Sumenep, yang memiliki tradisi apeman. Cara pembuatannya pun
sama. Maknanya juga hampir sama, menunjukkan adanya tali silaturahmi
karena nantinya juga dibagikan kepada tetangga atau santri (bila di
lingkungan pesantren). Waktu pelaksanaan pembuatannya pun juga pada saat
menjelang bulan puasa.
Lantas, bila ditarik mundur melihat
sejarah, ada legenda yang menuturkan bahwa kue apem ini bermula pada
zaman Sunan Kalijaga, salah seorang wali sanga. Adalah Ki Ageng Gribik
atau Sunan Geseng, murid Sunan Kalijaga, yang waktu itu baru pulang
ibadah haji dan melihat penduduk Desa Jatinom, daerah Klaten, kelaparan.
Beliau membuat kue apem lalu dibagikan kepada penduduk yang
kelaparan sambil mengajak mereka mengucapkan lafal dzikir Qowiyyu (Allah
Maha Kuat). Para penduduk itu pun menjadi kenyang. Hal inilah yang
memotivasi penduduk setempat untuk terus menghidupkan tradisi upacara Ya
Qowiyyu setiap bulan Safar.